Sabtu, 05 Januari 2013

"Setjangkir Kopi dari Plaja" : Bukan Sekedar Pentas di Atas Panggung


oleh Maria Tri Sulistyani  ( Scriptwriter, Artistic Director "Secangkir kopi dari Playa" )


Baru saja saya mengakhiri pembicaraan dengan seseorang di telepon.
Tanpa terasa ada air yang menitik di sudut mata saya selama saya berbicara dengan orang tersebut di telepon.
Perasaan saya mengambang...

Dan teringatlah saya pada awal proses bagaimana  air mata saya menitik lagi hari ini.

*****


Tahun 2008, saat saya dan Iwan Effendi bikin riset tentang pementasan teater boneka perdana untuk dewasa "Noda Lelaki di Dada Mona", saat itulah kami mendengar sebuah kisah pendek dari seorang teman, tentang seorang mahasiswa di tahun 60-an yang kehilangan kewarganegaraannya saat pecah peristiwa September 1965 karena ia dikirim untuk tugas belajar oleh Presiden Soekarno ke Rusia.
Sebelum ia berangkat ke Rusia, ia telah mengikat janji dengan kekasihnya untuk kemudian menikah setelah usai masa belajarnya di Rusia.
Dan sayangnya  hal itu tak pernah terjadi. Sang mahasiswa mendadak dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap pro-Soekarno, dan belajar di negara komunis. Ia tak bisa pulang, tak bisa menghubungi keluarga dan kekasihnya secara tiba-tiba. Tanpa alasan yang dipahaminya.
40 tahun lebih telah berlalu, dan sang mahasiswa telah menyelesaikan studi S3, dan menjadi ahli Metalurgi di Kuba..
40 tahun telah berlalu, dan ia tetap memilih tidak menikah, demi memenuhi janjinya pada kekasih yang entah di mana...
Di masa pemerintahan Gus Dur, sang ahli metalurgi kemudian mendapat visa untuk bisa kembali ke tanah air... untuk menemui sejumlah keluarganya.
Visa yang hanya berlaku beberapa bulan itu digunakannya untuk mencari sang kekasih masa lalu...
Dari kisah yang saya dapat.. hampir setiap sore, sang ahli metalurgi naik bis dengan trayek yang sama dengan jurusan yang dulu, di tahun 60an, selalu ditempuh sepasang kekasih itu ...dengan harapan, ia akan berjumpa dengan sang kekasih masa lalu di dalam bis!

****

Kisah ini sangat melekat kuat di kepala dan hati saya.
Mungkin dianggap terlalu drama oleh banyak orang... tapi tidak buat saya..
Ini kisah nyata... dan seorang anak manusia mengalaminya.
Mulai hari itu saya bertekad untuk, suatu hari, akan membuat karya yang saya dedikasikan untuk sang ahli metalurgi.

**

"Setjangkir Kopi dari Plaja", judulnya.
Secangkir Kopi yang disajikan dari Playa, sebuah sudut kota di Kuba..
Secangkir kopi yang terasa manis pahit dan juga getir..

Dengan bermodalkan jaringan internet 24 jam di rumah, dan berbekal sedikit keywords, saya mulai menjelajah dunia maya, untuk menemukan info tentang si ahli metalurgi.
Di sanalah saya berkenalan dengan sosok Pak Wi.
Saya beruntung...saya berjumpa dengan tak lebih dari 10 artikel mengenai beliau di dunia maya ini...
dan satu hal yang menjadi kunci, saya bisa menjumpai alamat beliau di dunia maya.

Korespondensi di dunia maya pun saya mulai.
Saya mengucapkan salam, memperkenalkan diri, menyodorkan beberapa link video dan website Papermoon Puppet Theatre padanya, dan menyatakan kekaguman saya pada kisah hidup beliau.
Saya mau bekerja dengan sopan, pikir saya.
Beliau masih hidup, dan saya mau mengangkat kisah hidupnya ke dalam sebuah karya sederhana saya, maka saya harus meminta ijin.

Gayung bersambut, email saya dibalas dengan penuh sukacita.
Kali itu beliau menyatakan apresiasinya pada pementasan kami "MWATHIRIKA" yang kebetulan juga berlatarbelakang sejarah 65.
Itu pertama kalinya air mata saya menitik dalam proses "Setjangkir Kopi dari Plaja".
Satu pintu telah terbuka..pikir saya.
Pintu kedua juga terbuka, setelah saya mendapati ternyata si penulis artikel-artikel mengenai Pak Wi, adalah kakak kelas saya di kampus! Betapa alam semesta !!!!

Beberapa kali saya dan Pak Wi saling membalas email.
Kami lebih banyak bicara mengenai kisah-kisah saat beliau masih menjadi mahasiswa.
dan tak satupun kisah mengenai hubungan percintaannya keluar dalam tulisan-tulisannya.
Saya pun tak berani mengungkit kisah itu. Apalagi saya juga tahu, bahwa akhirnya sang kekasih masa lampau juga telah menikah, dan punya 4 cucu.

Saya sempat menawari untuk mengirimi naskah pementasan kami, tapi beliau tak merespon.
Sampai akhirnya saat kami akan memulai pementasan, Pak Wi berhenti menjawab email saya.
Saya mengirimi beliau email berkali-kali tapi tak pernah berbalas.
Jangan-jangan beliau marah, pikir saya.. atau merasa terganggu.

Saya pun semakin berhati-hati untuk mencantumkan nama beliau, bahkan nama sang kekasih masa lampau nya dalam pementasan kami.

Dan pementasan tetap kami gelar, meskipun email-email terakhir saya tak pernbah berbalas.
Sebelum pertunjukan kami digelar, selama 16 kali,kami selalu berdoa bersama,
dan menyebutkan bahwa kisah ini kami dedikasikan penuh pada cinta mereka yang masih ada.

****

Pementasan pun usai.
Toko barang antik yang kami gunakan menjadi panggung pertunjukan, sudah kembali menjadi toko barang antik. Boneka-boneka sudah kembali kami simpan dengan rapi, syukuran sudah kami gelar, dan kami sudah mulai menggarap karya baru kami yang lain.
Email ucapan terimakasih dan kabar bahwa pementasan sudah berhasil kami gelar, sudah saya kirimkan pada Pak Wi.
Tapi tetap tak berbalas.

Hingga sampai pada suatu hari, salah satu sahabat saya yang bekerja di Deplu memberi kabar, bahwa rekan sejawatnya akan ada yang berangkat ke Kuba.
Saya pun tergopoh-gopoh menyiapkan satu paket hadiah kecil untuk saya titipkan agar bisa diberikan pada Pak Wi.
Sekeping DVD dokumentasi pementasan "Setjangkir Kopi dari Plaja" , 3 buah katalog pertunjukan "Setjangkir Kopi dari Plaja" dan 3 lembar surat yang saya tulis tangan.

Hadiah kecil itu terbang ke Kuba, dan suatu sore saya menerima email. Dari Pak Wi. Setelah 4 bulan tak berkabar.
Beliau mendapat telepon dari KBRI untuk mengambil paket kecil dari saya!
dan segera setelah hadiah kecil itu dibuka, dan DVD itu ditontonnya, beliau kembali mengirim kabar pada saya.
Tepat di sebuah malam, 4 bulan setelah pementasan kami usai digelar, 15 menit sebelum ulang tahun Papermoon Puppet Theatre yang ke-5 berakhir, saya menerima email dari Pak Wi.
Beliau terharu, mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan berkata "siapalah saya, sampai karya ini didedikasikan untuk saya?"

Dan di akhir emailnya, beliau meminta saya untuk mengirim sebuah katalog "Setjangkir Kopi dari Plaja", untuk kekasih masa lampau nya, yang akan berulang tahun yang ke-70 di bulan April, bulan yang sama dengan ulang tahun Papermoon.

Dan di saat itulah, air mata saya dan Iwan, mengalir deras tak berhenti, lama sekali.
sebuah perasaan aneh mendesak di dada saya.
saya tidak pernah menyangka, membuat sebuah karya pertunjukan, teater boneka, bisa menggandeng saya sampai sejauh ini.

Memang bukan blow up media yang kami dapat dari pementasan mungil kami kali ini, bukan diliput televisi, dan bukan mendatangkan keuntungan materi yang bertubi..

Tapi sebuah rasa yang benar-benar menghantam ulu hati.
Ini bukan drama. Ini bukan sekedar pementasan yang ditonton orang dengan lampu menyala di atas panggung, dan segera berakhir saat lampu mati dan tepuk tangan bergemuruh.

*****



Pagi ini, saya menerima telepon...

Tenggorokan saya tercekat begitu mendengar namanya disebutkan.
Ia bertanya, saya siapa..
dan kenapa ada sebongkah kardus saya kirimkan untuknya.
Ia tak berani membukanya, sebelum ia memastikan, siapa pengirimnya.

Dengan gemetar saya memperkenalkan diri, siapa saya,
siapa papermoon Puppet Theatre,
dan darimana saya mendapat alamat beliau.
Dan begitu nama Pak Wi saya sebutkan, saya bisa mendengar napas yang tertahan di ujung sana.

Selepas itu suaranya terdengar begitu renyah, cerdas, hangat, dan riang.
Esok hari ia berulang tahun yang ke 71.

Saya ucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Ia mengucapkan banyak terimakasih pada kami semua.
Obrolan panjang terjadi antara kami berdua.
Saya titip salam kepada suami tercintanya.

Kami berjanji untuk berjumpa,
dan beliau mengundang saya untuk mampir ke rumahnya kalau kelak datang ke kotanya..
saya ucapkan agar beliau sehat dan bahagia selalu..

****

Pagi ini saya menerima telepon..
Dari kekasih masa lampau Pak Wi.

***

Dan saat saya mengakhiri pembicaraan,
ada air menitik di sudut mata saya.
terimakasih, alam semesta..


yogyakarta, 18 april 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar