Selasa, 27 Desember 2011

Secangkir Kopi dari Playa di mata Vitarlenology

Secangkir Kopi Dari Playa, Ketika Ideologi Kehilangan Rasa Cinta 

http://vitarlenology.blogspot.com/2011/12/secangkir-kopi-dari-playa-cinta-dalam.html


Jarak dari Minggiran dan Kedai Kebun, kurang dari 500m, namun malam itu (19/12) Yogjakarta basah. Hujan tak kunjung berhenti, meski rintik tapi cukup kerap. Dari lima tiket yang sengaja kubeli, hanya dua saja yang ternyata terpakai. Tanpa Akum, Gendis memutuskan ikut meski terlihat ragu. Mas Sudi, mengantarkan aku dan Gendis ke Kedai Kebun, tempat berkumpul para penonton yang akan menonton pertunjukkan Papermoon Puppet Theatre: Secangkir Kopi Dari Playa. Sesampai di Kedai Kebun, antusiasku bertambah karena bertemu teman-teman. Sementara mata Gendis mulai berkaca-kaca ketika menyadari dialah satu-satunya anak kecil di ruangan itu. "Tante aku mau pulang," katanya hampir terisak. Aku tidak bisa memaksanya tetap ikut menonton pertunjukkan ini. Ya sudah, aku hubungi mas Sudi untuk menjemput Gendis kembali. Tak lama malah bapaknya muncul. Rupanya Gendis mengsms bapaknya juga, minta di jemput.

Bapaknya Gendis datang dengan temannya, Lipi, seorang seniman perempuan dari Bangladesh. Lipi begitu antusias ketika diberi tahu soal pertunjukkan puppet yang akan kami tonton bersama. Ada tiga tiket menganggur di tanganku. Sepertinya sebelum pertunjukkan dimulai aku harus jadi 'calo' dulu nih. Aku akan merasa berdosa jika tiga tiket ini nganggur sia-sia di tanganku. Beberapa menit kemudian datanglah Dua orang yang ingin sekali menonton namun sudah kehabisan tiket. Penjaga tiket memberitahukan pada mereka bahwa aku masih punya tiga tiket menganggur. Akhirnya hanya satu tiket saja di tanganku. Berharap masih ada yang membutuhkannya sebelum waktu pertunjukkan di mulai.

Sampai Pk. 19.45 tak ada penonton susulan yang datang. Pemandu perjalanan bernama Wulang Sunu, meminta para penonton yang berjumlah 19 orang itu untuk masuk ke dalam bis, karena pertunjukkan bukan di Kedai Kebun, namun di sebuat tempat yang sangat dirahasiakan. Persis seperti perjalanan wisata, Sunu menjelaskan hal-hal menarik yang di lewati sepanjang jalan, termasuk warung angkringan favoritnya dengan menu sate usus kesukaannya.

Mini bus membawa para penonton masuk ke jalan Imogiri dan berhenti di sebuah toko barang antik yang lebih menyerupai gudang. Rasanya agak janggal, mengunjungi toko barang antik di malam hari dengan penerangan lampu TL yang membuat barang-barang antik itu terlihat sangat tua dan muram. Salah satu pengelola toko datang menyambut tamu-tamu dan sibuk mempromosikan mebel-mebel antik yang ada di situ. Tidak ada tanda-tanda pertunjukkan akan di gelar di tempat itu. Sunu kemudian mengajak penonton untuk kembali menaiki bis. Masih ada barang antik lainnya yang bisa di tengok di gudang belakang, hanya saja jalan menuju ke gudang itu tergenang air. Aku perhatikan Lipi yang duduk di sebelahkan. Dia tampak penasaran dalam diamnya.

Bis pun beranjak membawa tamu-tamu ke gudang belakang yang terlihat lebih rapi. Kursi-kursi dan bangku-bangku lama tertata rapi menghadap ke depan, ke susunan barang-barang antik dimana di atasnya lampion warna-warni tergantung. Ooo.. rupanya di sini pertunjukkan itu akan di mulai. Tapi benarkah? keraguan sempat muncul karena tempat itu tidak seperti panggung pertunjukkan pada umumnya. Lebih tampak seperti tumpukan barang antik daripada sebuah panggung pertunjukkan. Lagi pula lampion-lampion itu mati, penerangan hanya lampu TL saja dan mas-mas pengelola toko antik kembali melanjutkan promosi barang-barang antik yang dia jual.

Lima menit nyerocos soal barang antiknya, tiba-tiba lampu mati total. Gudang antik itu gelap gulita. Dalam gelap, si mas meminta maaf kepada para tamu
" maaf ya mba-mba dan mas-mas semua, listriknya ga kuat nih. Sabar ya, coba kita nyalakan lagi."

Di tengah para tamu yang masih terkaget-kaget dalam kegelapan, tiba-tiba lampion-lampion menyala terang, empat orang yang memegang dua boneka berdiri di antara tumpukan lemari, meja dan kursi di depan penonton,  dan siap memainkan lakon Secangkir Kopi Dari Playa.


foto diambil dari sini
Adalah pemuda bernama Wi bersama kekasihnya, berkasih mesra, mengikat janji lewat cincin pertunangan, sampai tahun 1959 lewat siaran RRI pemerintah Republik Indonesia mengumumkan kerjasama dengan pemerintah Moscow untuk mengirimkan para pelajar Indonesia melakukan tugas belajar di sana. Wi, salah satu yang beruntung untuk menunaikan tugas negara, menjadi duta bangsa menuntut ilmu di negara komunis bernama Uni Sovyet. Dengan janji akan kembali dan membangun hidup bersama setelah tugas belajar usai, Wi pun berangkat membawa bekal cintanya pada kekasih hati. Tahun berganti tahun, cinta merangkai kisah lewat surat menyurat.
Romantis, manis, lengket seperti aromanis merentang dalam utas-utas benang cinta meski ada jarak memisahkan.

Sampai satu hari, benang-benang cinta yang merentang itu terputus sama sekali oleh sebuah berita pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang memutuskan kerjasama apapun yang mengusung ideologi komunis. Wi si pemuda pelajar tiba-tiba saja tergantung di ujung seutas tali cinta yang putus oleh ideologi. Kisah yang merangkai lewat hantaran surat menyurat tiba-tiba terhenti, kabar pun tak mungkin terdengar lagi. Bukan hanya cinta yang terkatung-katung tanpa kepastian terpisah jurang ideologi, namun hidup Wi juga tak menentu. Wi tidak bisa membali ke Republik Indonesia tanah air, tanah cintanya. Ia terjebak di negeri asing di mana jembatan yang menghubungkannya dengan tanah tumpah darahnya terputus oleh situasi politik dan perbedaan ideologi.

Sementara sang kekasih yang menunggu dan menunggu tanpa kepastiaan dan harapan bahwa jembatan penghubung pada kekasih hatinya, Wi, akan tersambung kembali, terpaksa memutuskan menerima tawaran pemuda lain yang ingin membangun jembatan menuju hatinya. Biarkan kisah cintanya dengan Wi, tersimpan dalam di bagian hatinya yang tersembunyi. Hidup yang terus melaju menuntutnya menerima pinangan lelaki lain dan membangun hidup bersamanya di atas puing-puing impian cintanya bersama Wi.

Tahun demi tahun berlalu. Cintanya yang sedemikian besar pada kekasihnya menjadi cahaya di ujung lorong gelap yang penjang yang terus membuat Wi berusaha bersusah payah menjangkaunya. Tak peduli berapa lama waktu yang ia perlukan. Berpuluh-puluh tahun kemudian setelah berusaha tak kenal lelah, akhirnya Wi mendapatkan passport warga negara Indonesia. Perjumpaan dengan kekasihnya hanya tinggal beberapa langkah lagi. Namun di manakah kamu, sang kekasih?

Sang kekasih yang menua seiring waktu, menemukan bahagia yang lain. Bayang-bayang Wi yang kerap muncul dalam buih kopi yang di nikmatinya setiap pagi bersama lelakinya yang lain. Begitu pula Wi yang juga menua dan tetap bersetia pada cintanya. Dia seperti pangeran yang menunggu janji sang putri yang akan membukakan jendelanya di hari ke 100, namun sang pangeran memutuskan pergi di hari ke 99.

Mungkin bagi Wi, kesejatian cintanya ada pada janji yang terus digenggamnya sampai ia mati nanti. Biarkan perempuan itu membangun hidup yang lain, karena kesejatian cinta sang kekasih ada pada saat ia mengenang Wi pada setiap cangkir kopi yang di nikmatinya setiap hari.





Di angkat dari kisah cinta yang nyata seorang pemuda bernama Widodo, seorang pria kelahiran Jawa Timur, 2 September 1940 mantan mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Gajah Mada yang mengenyam pendidikan S2 di Institut Metalurgi Baja di Moskow, Uni Sovyet. Sang kekasih adalah anak sulung Direktur Perusahaan Soda dan Garam Negara di Jakarta pada tahun 1960-an. Sang kekasih belakangan diketahui sudah berkeluarga dan memiliki 4 orang cucu. Wi berharap suatau hari nanti masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan pujaan hatinya itu. Kini Wi berusia 71 tahun, memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.

Sesudah pertunjukkan usai. Aku tak kuasa menahan haru. Bahkan keharuan itu masih kurasakan sampai saat ini. Jarang sekali aku bisa menangis haru karena sebuah pertunjukkan kalau bukan karena pertunjukkan itu begitu istimewa.
Pertunjukkan bisu ini menurutku jauh lebih kuat memberi imajinasi rasa kepada para penonton untuk menafsir seperti apa rasa cinta yang dipisahkan ideologi ini.
Tanpa berusaha menjadi komentator sosial, Papermoon justru berhasil menyampaikan betapa ideologi yang secara nalar mengajarkan cinta kasih tapi lupa pada rasa cinta itu sendiri. Itu sebabnya pada setiap jaman ideologi kerap memisahkan kisah cinta manusia yang mengamini ajarannya.

Pertunjukan yang merespon tempat (site specific performance), sangat terasa tergarap dengan sangat baik dengan takaran yang sangat pas: artistik yang pas dan tidak berlebihan, cerita yang pas, cara menampilkan realitas yang pas (ga lebay). Takaran yang pas ini justru berhasil meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada penonton (setidaknya aku).
Kurasa sebuah pertunjukkan yang berhasil adalah pertunjukkan yang bisa 'mengganggu' penontonnya setiap kali mengingatnya. Dan Secangkir Kopi Dari Playa berhasil 'menggangguku' sampai saat ini.

Terima kasih Ria dan teman-teman Papermoon untuk pertunjukkan yang begitu istimewa dan menjadi  inspirasi bagi kami para penonton.


**********
 
terimakasih Mbak Tarlen, yang udah bela belain dateng dari Bandung untuk menyeruput Secangkir Kopi buatan kami..
tulisan ini bener-bener bikin merinding...

2 komentar:

  1. Keren...keren...suatu hari saya ke Jogja, mudah-mudahan bisa bertemu dengan puppet-puppetnya :)

    Salam kenal...

    _Ekbess, Makassar

    BalasHapus
  2. salam kenal ya mbak...
    terimakasih banyak.. iya ya.. semoga suatu hari nanti kita berjodoh.. :)

    BalasHapus