http://indonesiakreatif.net/news/liputan-event/pahit-manis-secangkir-kopi-dari-playa/
Warisan ingatan mengenai peristiwa kelam September 1965 bukan hanya melalui tulisan saja, melainkan juga melalui media seni. Papermoon Puppet Theatre, telah membuktikannya lewat teater boneka. Pementasan berjudul “Secangkir Kopi dari Playa” untuk kedua kalinya kembali digelar di Jakarta. Lakonnya diangkat dari sebuah kisah nyata tentang cinta dua anak bangsa yang kandas karena peristiwa ‘65. Kisah ini menghadirkan pahit manis kehidupan.
Pementasan teater boneka ini merupakan salah satu dari rangkaian acara yang dihelat oleh Goethe-Institut dari tanggal 29 September hingga 6 Oktober 2013 yang bertajuk Budaya & Konflik. Selain itu, acara lain yang tak kalah menarik adalah pemutaran film, seminar, diskusi, pameran seni, peluncuran buku, serta pertunjukan tari. Pihak Goethe-Institut bermaksud menyoroti konflik-konflik di Indonesia dan menempatkan semuanya dalam konteks internasional. Melalui acara ini kita diajak mengingat pengalaman masyarakat yang berbeda-beda ketika mengalami kekerasan, maupun menghadapi konflik peristiwa masa lalu. Termasuk juga melihat sejauh mana seni dan budaya berperan dalam mencegah konflik dan mengupayakan perdamaian.
Sejak awal, penonton telah diajak untuk ikut ambil bagian dalam “Secangkir Kopi dari Playa”. Pementasan ini gratis, tapi penonton wajib menukarkan tiketnya dengan sebuah benda berharga yang memiliki kenangan yang ingin dilupakan. Sejak hari pertama penukaran tiket (23/9), tiket telah habis dipesan, bahkan banyak juga yang masuk dalam daftar menunggu. Bahkan, pementasan yang tadinya dijadwalkan dua hari saja yaitu tgl 30 Sept—1 Okt ditambah sampai tgl 2 Okt. Uniknya, di tiket tersebut para penonton diwajibkan mengenakan dresscode vintage. Penonton juga diminta datang 30 menit sebelum waktu pementasan karena pertunjukan tidak akan digelar di Goethe Haus, melainkan di suatu tempat rahasia.
Ketika hari pertunjukan tiba, seorang laki-laki mengenakan topi pet cokelat tua yang serasi dengan kemejanya menyambut hangat kami. Dia adalah Frans yang mengaku sebagai guide yang akan mengantar kami ke tempat acara. Dengan menaiki mini bus, sebanyak 30 penonton dibawa ke sebuah rumah di Jalan Pekalongan yang disebut Frans sebagai Museum Pahit Manis. Sampainya di sana kami disambut dengan nyala lampion yang menawan. Ternyata, isi Museum Pahit Manis tersebut adalah semua benda-benda yang penonton tukar dengan tiket. Frans kemudian membawa kami melihat-lihat benda-benda tersebut. Benda yang mengandung kenangan manis, namun ingin dilupakan. Hal ini seolah mengingatkan bahwa kita tak seorang diri pernah mengalami peristiwa manis, yang berhujung pahit dalam hidup. Kemudian dia menggiring kami memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat berbagai barang-barang antik. Dia kemudian bercerita kisah-kisah di baliknya. Tidak ada tanda-tanda pertunjukkan akan dimulai. Lalu, tiba-tiba lampu mati. Frans kemudian pamit hendak memperbaiki lampu.
Di tengah berbagai barang-barang antik yang telah tertata rapi itu, perlahan lampu menyala dan sepasang boneka muncul. Boneka-boneka itu seolah hidup, kendati didalangi dan tidak berbicara. Kisah mengenai Widodo Suwardjo pun bergulir selama kurang lebih satu jam. Pemuda kelahiran 2 September 1940 tersebut, bergelut di Fakultas Teknik Sipil UGM. Dia mencintai seorang perempuan dan berencana menghabiskan sisa hidup bersamanya. Namun, suatu hari Wi mendapat kehormatan dari Soekarno untuk melanjutkan studi S2 di Institut Metalurgi Baja di Moskow, Uni Sovyet. Rasa bangga menyeruak di dada Wi. Antara gembira sekaligus sedih karena artinya dia harus pergi berpisah dengan kekasihnya. Namun, WI berjanji dengan memberikan perempuan itu cincin bahwa ia akan pulang untuk menikah dengannya setelah studinya selesai. Awal-awal Wi berada di sana, mereka masih menjalin komunikasi melalui surat. Tapi apa daya, komunikasi mereka harus berakhir karena putusnya hubungan antara Indonesia dengan apa pun yang berbau komunis. Gejolak hebat di dada Wi bergemuruh. Dia tidak dapat pulang ke rumahnya karena peristiwa tersebut. Terlebih sedih lagi karena dia tidak dapat menjumpai kekasihnya. Tahun demi tahun berlalu dan sang kekasih akhirnya menerima pinangan laki-laki lain. Waktu membuat Wi menjadi tua, namun cintanya abadi bagi kekasihnya sampai akhirnya dia mendapatkan paspor untuk pulang. Meskipun telah memiliki suami, sang kekasih tetap mengingat Wi di setiap cangkir kopi yang diteguknya. Begitupun Wi, dia sampai menelusuri kembali jalan-jalan dengan bus yang pernah diarungi bersama sang kekasih. Dengan sebongkah harapan suatu saat akan menjumpai kekasihnya. Namun, di akhir cerita mereka tidak juga berjumpa. Frans kemudian kembali muncul usai pertunjukan. Kami seolah ditarik ke tahun ‘65-an dan bersentuhan langsung dengan pejalanan hidup Wi.
“Biasanya boneka identik dengan anak-anak. Papermoon berhasil mengemas cerita sejarah dengan cara yang unik melalui teater boneka. Karena tidak pakai dialog, jadi semua orang bisa nonton tanpa ada batasan bahasa,” ungkap Giasinta Angguni, seorang fans berat Papermoon yang setia mengikuti Papermoon ke mana pun pentas. Apabila dibandingkan dengan kisah-kisah lain seputar G30S/PKI, kisah ini begitu sederhana. Namun, rasa haru yang dalam akan cinta sejati yang dimiliki kedua anak manusia tersebut, sanggup menggetarkan hati kita. Terlalu banyak korban karena peristiwa ‘65, Wi dan kekasihnya di antaranya. Ketika ditanya perasaan dan harapannya, Maria Tri Sulistyani yang akrab disapa Ria selaku pendiri Papermoon Puppet Theatre menjawab, “Perasaannya senang banget pastinya. Harapannya kami bisa mementaskan ini di depan Pak Wi. Someday…”
Read more at http://indonesiakreatif.net/news/liputan-event/pahit-manis-secangkir-kopi-dari-playa/#BRShxz67K8ivLkqP.99